TOP 1 Oli sintetik mobil-motor Indonesia |

Merayakan Paskah Bareng Isabella dan Sofia - KOMPAS.com” plus 1 info menarik lainnya

Minggu, 08 April 2012

Merayakan Paskah Bareng Isabella dan Sofia - KOMPAS.com” plus 1 info menarik lainnya


Merayakan Paskah Bareng Isabella dan Sofia - KOMPAS.com

Posted: 08 Apr 2012 03:12 AM PDT

KOMPAS.com - Isabella dan Sofia Bliss adalah saudara kembar asal Australia yang menarik perhatian dunia dengan keahliannya memasak, dan keberhasilannya menjuarai kompetisi masak level junior. Isabella memenangkan Junior Masterchef Australia musim pertama sebagai juara pertama. Sementara Sofia, tampil sebagai juara ketiga.

Atas inisiasi Eatphoria dan Al's Catering, kedua bintang muda ini hadir di Jakarta sambil merayakan Paskah. Dalam kegiatan Isabella & Sofia's Easter Weekend, gadis berusia 13 keturunan Italia ini menjamu 250 peserta Easter Brunch.

Ragam menu kreasi Isabella dan Sofia, yang dibukukan dalam A Little Bit of This, A Little bit of That, tersaji sebagai hidangan Easter Brunch. Berlokasi di The Atrium Sampoerna Strategic Square, Jakarta, berbagai hidangan multikultur kreasi Isabella dan Sofia ini dinikmati penggemarnya dalam suasana ceria dengan tema ala piknik berkonsep buffet. Mereka pun menyempatkan memasak bersama, disaksikan gadis belia seusianya dari Indonesia yang mengidolakan chef cilik bertalenta ini.

"Ini pertama kalinya Isabella dan Sofia datang ke Indonesia, dan waktu mereka memang baru bisa saat ini, saat Paskah. Acara ini sekaligus menjadi momen kumpul keluarga sambil merayakan Paskah, apalagi kini brunch sebagai ajang kumpul bareng teman atau keluarga sedang menjadi tren," ungkap Kezia Ponggawa, perwakilan dari Eatphoria Culinary Consultant kepada Kompas Female di sela acara Easter Brunch di Jakarta, Minggu (8/4/2012).

Kehadiran chef muda asal Australia ini tak hanya memberikan pengalaman kuliner berbeda. Keduanya juga memberikan inspirasi terutama untuk anak-anak yang gemar memasak.

Pada 7-8 April 2012, Isabella dan Sofia berbagi pengalaman memasak bersama anak-anak dan orang dewasa. Di hari pertama, saudara kembar ini mengadakan kelas memasak bersama Arimbi Nimpuno, Pengajar di Lifestyle Studio. Kelas memasak sehari ini melibatkan 60 peserta anak dan dewasa (usia 9-21), dan terbagi dalam dua sesi.

"Kelas terbagi dua sesi, pagi dan siang, masing-masing kelas 30 orang yang terbagi dalam lima grup. Anak-anak juga orang dewasa yang menjadi peserta menyaksikan Sofia dan Isabella melakukan demo masak dan mereka kembali ke meja masing-masing untuk mempraktikkannya," Arimbi menggambarkan kegiatan kelas memasak yang dipandunya bersama dua chef belia.

Bagi Arimbi, kedatangan dua chef muda bermanfaat untuk mengenalkan berbagai jenis makanan kepada anak-anak, sekaligus menyampaikan pesan pentingnya memasak bukan pekerjaan yang sulit dilakukan. Selain juga membuka wawasan orangtua terutama ibu yang kerap melarang anak memasak di dapur.

"Orangtua kadang terlalu khawatir anak terkena kompor, melarang anak ke dapur, padahal memasak itu sesuatu yang memungkinkan bagi mereka. Isabella dan Sofia contoh nyatanya. Anak-anak sebaiknya dibiarkan memasak selama ada pengawasan dari orangtuanya," tutur Arimbi.

Kegiatan Easter Brunch bareng Isabella dan Sofia nyatanya juga bermakna bagi anak-anak. Sekar Alma (11) berbagi pengalamannya. "Saya ingin bisa masak, berani seperti Sofia dan Isabella," kata Sekar saat berbincang bersama Kompas Female seusai memotret dua idolanya melakukan demo memasak.

Menyaksikan bagaimana gadis sebayanya tampil memasak di depan banyak orang, Sekar tengah memupuk keberanian dalam dirinya untuk juga bisa berprestasi. Sekar mengaku gemar memasak, dan kerap membuat sendiri hidangan kesukaannya.

"Sekar cenderung sulit makan kalau makanannya tidak dia suka. Jadi dia memasak sendiri makanan yang disukainya," ungkap Lili Mekar Rahmasari (36), sang ibu yang menemaninya bertemu sang idola.

Sekar mulai terbiasa memasak sejak menyaksikan program televisi Junior Masterchef setahun silam. Bagi Lili, bertemu langsung dengan Isabella dan Sofia membantu menumbuhkan kepercayaan diri Sekar yang cenderung pemalu.

"Acara ini bagus apalagi jika terbuka untuk kalangan umum. Anak bisa mencari pengalaman, bahwa menjadi chef tidak mudah. Namun anak juga bisa belajar mandiri, mau tampil ke depan, dan Isabella serta Sofia dapat menjadi contoh nyatanya," jelas Lili.

Gianti Naraswari (13) juga mengaku terinspirasi dari sosok idolanya, Isabella dan Sofia. Gadis muda ini juga suka memasak dan senang mengeskplorasi resep masakan, termasuk resep keluarga Isabella dan Sofia yang didapatkan dari buku koki kembar ini.

"Saya ingin punya pengalaman yang sama seperti mereka, ikut kompetisi memasak," harap Gianti yang memuji kegigihan Isabella dan Sofia untuk menyeimbangkan waktu belajar dan hobinya memasak termasuk saat harus syuting delapan jam perhari selama delapan minggu saat mengikuti kompetisi.

This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters recommends: Donate to Wikileaks.

Banyak Jepang di Lapangan Merdeka - Harian Sumut Pos

Posted: 07 Apr 2012 09:09 PM PDT

Ramadhan Batubara

Lapangan Fukereido begitu namanya saat masa Jepang. Lapangan Merdeka namanya kini. Setelah sekian puluh tahun berubah nama dengan menggunakan kata Merdeka, ternyata lapangan di tengah Kota Medan itu tetap saja tak bisa hilang dari kuasa Jepang. Dan, hal itu saya buktikan kemarin pagi. Saya memang tidak memilih sisi lapangan yang dekat kantor pos. Sisi itu belum hidup di kala hari masih pagi. Dia hidup saat malam; menawarkan beraneka makanan dan minuman. Malam adalah miliknya. Tapi, ketika matahari masih terang, sisi dekat Stasiun Kereta Api Medan adalah pilihan. Ya, barisan toko buku yang menawan.

Dan, dari pilihan itulah lantun ini bermula. Atas nama keinginan mencari buku yang berharga miring, saya parkirkan si Lena (masih ingat dengan sepeda motor saya bukan?) di depan sebuah kios yang masih tutup. Belum lagi saya turun, terdengar sekian tawaran dari penjual buku yang sudah beroperasi.

Cari apa, Bang? Kamus Besar Bahasa Indonesia? Novel? Buku pelajaran? Majalah? Buku resep makanan? saya hanya tersenyum mendengar bapak tua duduk di sebelah kios yang tutup tadi.
Buku kedokteran atau hukum, Bang? katanya lagi ketika saya sudah akan melewati kiosnya. Sumpah, saya merasa bosan ditanyai terus.

Ayolah, kenapa saya tidak dibiarkan menjelajahi Pasar Buku ini dengan leluasa. Ya, biarkan saya menjelajahi ribuan judul dan cover buku yang menggoda itu.
Akhirnya, saya berhenti di depan kiosnya. Bukan untuk mencari buku yang dicari, saya ingin mencari yang tak ada di sana. Maksudnya, biar dia diam. Gak ada komik ya, Pak? kata saya begitu melihat toko dia hanya berisi buku serius.
Eh, bukannya menggeleng, si bapak malah tersenyum. Tampaknya dia mengejek pilihan saya tadi. Dia sepele. Mungkin dalam hatinya berkata, Percuma bawa ransel sok wartawan, bacaannya komik.
Selesai senyum dan memunculkan roman mencurigakan, dia menunjuk arah ke dalam, ke sebuah gang. Itu saja.

Sudahlah, untuk apa diperpanjang. Saya ikuti saja arah tangannya. Maksudnya biar cepat terhindar dari dia. Sayangnya, arah tangannya itu bak petunjuk yang tidak bisa saya tolak. Setelah memasuki gang itu, saya malah terpaku di kios yang menawarkan beribu komik. Terpandang oleh saya, barisan komik itu sebagian besar adalah komik Jepang, mungkin sembilan puluh prosennya. Mungkin karena itulah saya terpaku, mata saya terus mencari komik made in Indonesia. Tak terlihat Gareng Petrok karya Indri Soedono atau Jaka Sembung-nya Djair Warni. Sempat terpikir juga mencari karya anak Medan seperti karya Zam Nuldyn, Taguan Hardjo, Bahzar, dan Djas. Tapi, tumpukan komik Jepang telah membuat mata saya capek. Bertanya pada penjual adalah langkah terbaik bukan?

Lucunya, bukan karya mereka yang saya tanyakan pada pedagang komik-komik tersebut. Saya malah menyebut Topeng Kaca. Ya, sebuah komik Jepang era sembilan puluhan. Setelah kalimat keluar dari mulut saya, si pedagang bergegas. Tak sampai tiga menit dia sudah membawah tujuh buku.Saya sumringah. Sumpah. Komik itu sejatinya sempat membantu saya untuk belajar teater. Malah, pengetahuan dari komik Topeng Kaca itu sempat saya terapkan saat melatih teater. Komik itu memang bercerita tentang seorang tokoh yang berniat dan berhasrat untuk menjadi pemain drama alias aktor. Jadi, ceritanya mengandung proses sebuah pementasan; baik dari pencarian karakter hingga berbagai unsur pementasan.
Nah, begitu tumpukan Topeng Kaca ada di depan saya, langsung saja dilahap. Sayang, edisinya tak lengkap. Tak ada edisi satu dan empat. Bang, edisinya kurang ya? tanya saya langsung.
Wah, kalau Topeng Kaca laris itu, Bang. Harus pesan on line. Banyak kali peminatnya. Harganya pun sampai 25 ribu per edisi, balas sang penjual.
Dua puluh lima ribu untuk buku lusuh? Kalau komik lain berapaan? penasaran saya. Rata-rata 5 ribu untuk satu edisi, Bang.

Wow. Menggiurkan. Saya tinggalkan Topeng Kaca. Meski ingin bernostalgia dengan komik itu, tapi edisinya tak lengkap. Ya sudah, saya cari komik lain, selagi harganya lima ribu.
Maka, setelah hampir satu jam mengobrak-abrik tumpukan komik, saya memilih Master Cooking Boy karya Etshusi Ogawa. Saya juga mengambil Diva karya Hiromu Ono. Dan, satu komik Korea karya Choi Kyung-ah yang berjudul Bibi, The Road to Fashion. Setelah dihitung, dari tiga komik itu, ada 18 edisi. Fiuh.

Lapan lima ribu aja, Bang terang si pedagang.  Saya tersenyum. Tidak apalah, selagi tanggal muda. Saya serahan selembar uang seratus ribu. Nah, di saat menunggu uang kembalian, tiba-tiba mata saya tertuju ke sebuah buku. Bukan komik, tapi tentang komik. Buku itu berjudul Yuk, Bikin Komik Sambil Ketawa. Saya ambil dan saya lihat penulisnya adalah Dwi Koendoro Br. Langsung saja terbayang Panji Koming dan Sawungkampret. Saya buka, ternyata Dwi Mas Deka Koendoro Br menuliskan proses kreatifnya sebagai komikus. Buku yang menarik. Kenapa saya tak pernah tahu?

Yang ini berapa, Bang? langsung saya tanya, suara saya bahkan agak berteriak.

Lima belas! teriak si pedagang. Sip. Seratus ribu tanpa kembalian. Setelah dimasuki plastik hitam, buku-buku itupun saya masuki ke ransel. Selesai.
Saya kembali ke parkir. Begitu Lena akan saya nyalakan, pedagang tua dekat parkiran itu malah menyapa, Dapat komiknya?
Kurang ajar. Saya arahkan saja jari saya ke ransel. Dia tersenyum. Saya tak peduli. Saya nyalakan Lena.  Begitu meninggalkan gerbang Pasar Buku itu, saya merasakan ada yang kurang. Bah, bukankah saya ke tempat ini karena istri minta dicarikan buku resep makanan Nusantara?

Waduh, mau kembali lagi terasa sangat malas. Hm, saya buka ransel dan saya lihat komik Jepang soal jagoan masakan tadi. Hm, boleh juga. Komik itu kan soal masak dan masakan, istri saya pasti tak marah.
Akhirnya saya tinggalkan Lapangan Fukureido itu. Meski sudah tidak jajahan Jepang lagi, tapi begitu banyak karya anak Jepang di sana. Bukankah itu juga namanya dijajah? Ah, entahlah.(*)

This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters recommends: Donate to Wikileaks.

Diposting oleh Rakhma di 15.26  

0 komentar:

Posting Komentar